Membersihkan Dan Menyempurnakan Tauhid
Belajar Tauhid : Puncak keistimewaan yang akan diraih oleh orang-orang yang bertauhid adalah bahwa Allah Ta’ala akan memasukkan mereka ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Keistimewaan ini hanya Allah Ta’ala janjikan bagi mereka yang benar-benar membersihkan, memurnikan, dan menyempurnakan tauhidnya. Untuk mewujudkan hal ini, tentu bukan hal yang mudah. Lalu, bagaimana cara kita meraihnya?
Jalan untuk Membersihkan Tauhid
Untuk membersihkan dan memurnikan tauhid, harus terpenuhi tiga hal:
Pertama, memiliki ilmu yang sempurna tentang tauhid. Karena tidak mungkin seseorang membersihkan sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui dan memahami sesuatu tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah saja.” (QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan untuk meng-ilmui terlebih dahulu, sebelum mengucapkan kalimat tauhid.
Ke dua, meyakini kebenaran tauhid yang telah diilmuinya. Apabila seseorang hanya mengilmui (mengetahui) saja, akan tetapi tidak meyakininya dan bahkan mengingkarinya, maka dia tidaklah membersihkan tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman tentang kesombongan orang-orang kafir yang tidak meyakini keesaan Allah sebagai satu-satunya sesembahan –padahal mereka telah memahami makna laa ilaaha illallah-,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
”Mengapa ia (Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sungguh ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5).
Ke tiga, mengamalkan tauhid tersebut dengan penuh ketundukan. Jika kita telah mengilmui dan meyakini, akan tetapi kita tidak mau mengamalkannya dengan penuh ketundukan, maka kita belum bersih tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
”Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka,’laa ilaaha illallah’, mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 35)
Apabila ketiga hal ini telah terpenuhi dan seseorang benar-benar membersihkan serta memurnikan tauhidnya, maka jaminan surga tersedia menjadi miliknya tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam hal ini, kita tidak perlu mengatakan ”In syaa Allah” karena hal tersebut adalah hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at. [1]
Tauhid Tidaklah Sempurna Sampai Kita Berlepas Diri dari Kesyirikan
Salah satu konsekuensi dari tauhid adalah kita harus membenci, memusuhi, mengingkari, memisahkan diri, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya. Apabila kita tidak membenci dan memusuhi perbuatan syirik dan pelakunya atau bahkan ridha, merasa tenang-tenang saja dengannya, dan tidak mempermasalahkannya, maka ketahuilah bahwa tauhid kita belum bersih dan patut dipertanyakan serta harus diperbaiki lagi.
Salah satu konsekuensi dari tauhid adalah kita harus membenci, memusuhi, mengingkari, memisahkan diri, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya. Apabila kita tidak membenci dan memusuhi perbuatan syirik dan pelakunya atau bahkan ridha, merasa tenang-tenang saja dengannya, dan tidak mempermasalahkannya, maka ketahuilah bahwa tauhid kita belum bersih dan patut dipertanyakan serta harus diperbaiki lagi.
Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang kekasih-Nya, Ibrahim alaihis salam sebagai pemimpin orang-orang yang bertauhid,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka,’Sesungguhnya kami berlepas diri kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Bahkan meskipun pelaku syirik itu adalah kerabat kita, atau bapak kita sendiri, kita tetap harus berlepas diri darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala ketika mengisahkan perkataan Ibrahim kepada Azar (ayahnya),
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
”Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.” (QS. Maryam [19]: 48).
Inilah konsekuensi tauhid yang dimiliki seseorang, yaitu dia harus menjauhkan diri dari syirik dan para pelakunya. Akan tetapi, marilah kita melihat kenyataan yang ada di masyarakat kita sekarang ini. Ketika mengetahui ada hak manusia yang dilecehkan, seperti ketika ada seorang anak perempuan yang dinodai kehormatannya oleh ayah kandungnya sendiri, maka kita lihat masyarakat menjadi sangat marah dan murka kepada sang ayah tersebut. Mereka sangat membencinya dan tidak mau bertetangga lagi dengannya. Namun ketika ada hak Allah yang dilanggar dan dilecehkan, makam wali disembah, tukang sihir diagung-agungkan dan dibuat kontes perlombaan di televisi, kotoran kerbau dijadikan rebutan untuk dimintai berkahnya, ramalan bintang merajalela, maka hati siapakah yang marah dan murka? Siapakah yang membenci dan berlepas diri dari itu semua?
Yang kita dapati justru dukungan dan sambutan mereka yang meriah terhadap pelecehan Allah itu dengan ikut menonton dan menikmatinya melalui acara-acara di televisi, membaca iklan-iklan atau liputan berita tentang kesyirikan itu di koran dan majalah, bahkan ikut serta memeriahkan acaranya. Masyarakat pun santai-santai saja dengan kejahatan syirik itu. Lantas, adakah kejahatan yang lebih besar daripada perbuatan melecehkan Allah Ta’ala?
Semoga kaum muslimin dapat merenungkan hal ini. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik dan hidayah, sehingga kita dapat membersihkan dan menyempurnakan tauhid dalam diri kita masing-masing. [2]
***
Selesai disempurnakan di pagi hari, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Jumat 11 Sya’ban 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Lihat Al-Qoulul Muffid, 1/91 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
[1] Lihat Al-Qoulul Muffid, 1/91 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
[2] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).
—
Artikel Muslim.or.id
Post A Comment: